Sejarah Kerajaan Maritim Nusantara Lengkap

Sejarah Kerajaan Maritim Nusantara Lengkap – “Indonesia bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut, tetapi laut yang ditaburi pulau pulau” (A.B. Lapian 1929-2012). Pernyataan itu bermakna pentingnya laut sebagai ruang hidup bangsa Indonesia.  Dengan demikian laut merupakan system  yang mempersatukan wilayah Indonesia. Laut  sebagai suatu system jaringan pemersatu kepulauan Indonesia telah dibuktikan oleh pendahulu kita pada masa klasik (Hindu-Buda) yang berlanjut pada masa Islam. Jaringan perniagaan laut yang terbentang dari Aceh hingga Ternate-Tidore merupakan system jaringan yang mengintegrasikan seluruh Bandar-bandar perniagaan kecil dan besar ke dalam jaringan pasar global Asia. Laut melalui jaringan perniagaan merupakan jantung bagi kelangsungan hidup kerajaan-kerajaan maritime Tarumanegara hingga Mataram Islam. Karena laut muncul kerajaan-kerajaan maritime nusantara yang disegani, namun melalui laut pula kerajaan maritime mundur dan berubah menjadi agraris.

Jaringan perdagangan

Bukti tertua perdagangan Asia Tenggara terdapat pada naskah kuna India yang menyatakan kayu gaharu dan kayu cendana didatangkan dari Negara asing. Kitab Raghuvamsa karya Kalisada menyebut lavanga (cengkeh) yang didatangkan dari dvipantara. Wolters mempercayai dvipantara adalah nusantara (Notosusanto 1984:12).

Sumber Cina menyatakan hubungan perdagangan langsung antara nusantara dengan Cina baik menggunakan kapal mereka sendiri maupun menggunakan kapal dagang pada jalur perdagangan India-Cina. Wolters mengatakan berlangsung sejak abad ke-3 tetapi bukti nayata hubungan tercantum dalam laporan perjalanan yang berasal dari abad ke-5. Laporan  pendeta agama Buda yaitu Fa Hsien dan Gunavarman. Dalam laporannya Fa Hsien menggambarkan bahwa ia bertolak dari Sri Langka thn 413 melalui laut, bln Mei sampai di Yeh-p’ot’I yang diartikan sebagai Yawadwipa oleh para peneliti (Notosusanto, 1984: 15). Sementara penelitian berdasarkan genetika yang dilakukan H. Sudoyo Supolo dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mendapati bahwa motif tenun Madagaskar mirip dengan motif tenun Sumba. Alison Crowater dari Universitas Queensland Australia menyebutkan kacang hijau dan padi masuk Madagaskara sekitar 1200 tahun yang lalu. Kesimpulan ini didapat berdasarkan risetnya tentang tehnik bercocok tanam dan pengolahan lahan pertanian. Peneliti dari Lembaga Eijkman yang lain Pradiptajati Kusuma melakukan pelacakan DNA autosomal terhadap komunitas Dayak Ma’ayan dan membandingkan dengan populasi di Madagaskar. Meskipun hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara kedua komunitas masyarakat tersebut, bukti lain menunjukkan bahwa nenek moyang orang-orang Madagaskar adalah orang-orang Nusantara dengan beragam suku sehingga jejak genetikanya menjadi komplek yaitu terdapat jejak orang Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan bahkan Nusatenggara dan Bajau (suku laut nusantara) (Kompas, Senin 4 Juli 2016)

Ahli genetika Selandia Baru Murray Cox (2012) melalui penelitian DNA mitokondria menyatakan kolonisasi awal di Madagaskar dilakukan keleompok kecil perempuan Indonesia secara tidak sengaja. Namun demikian Pradipta melalui pengamatan pola periode migrasi menyimpulkan bahwa migrasi ke Madagaskar dilakukan pada era kejayaan Sriwijaya sekitar 1000-1400 tahun yang lalu bersamaan dengan peningkatan kegiatan perdagangan kerajaan tersebut (Kompas, Senin 4 Juli 2016). Keberadaan jejak Nusantara di Madagaskar membuktikan kemampuan penguasaan ilmu pelayaran oleh orang-orang Nusantara. Keberadaan armada maritime dua kerajaan besar Sriwijaya (abad ke-7) dan Majapahit (abad ke-13-16) adalah bukti nyata bahwa orientasi peradaban nusantara adalah maritime. Pasang surut dominasi kerajaan di nusantara tidak mengubah orientasi hidup mereka yaitu lautan, dan tradisi bahari itu terus berlanjut sampai abad ke-16 ketika orang-orang Eropa muncul di perairan nusantara dan perlahan-lahan menguasai perairan nusantara melalui serangkaian kebijakan pemaksaan dan kekerasan. 2. Kerajaan Maritim Hindu-Buda Nama Sriwijaya diperoleh dari pembacaan Kern pada tahun 1913 atas prasasti Kota Kapur dari pulau Bangka. Namun pada awalnya nama Sriwijaya bukanlah nama kota/tempat tetapi dipublikasikan sebagai nama raja oleh Kern. Adalah G. Coedes pada tahun 1918 berdasarkan pembacaan atas prasasti dan membandingkannya dengan sumber Cina maka dia berkesimpulan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatra Selatan dan berpusat di Palembang.

Dalam berita Cina Sriwijaya dikenal dengan She-li-fo-she (Notosusanto, 1984: 53) Keberadaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritime dibuktikan dengan pembacaan atas prasasti Kedukan Bukit bertahun 682 M yang berisi tentang pengiriman armada perang dengan perahu untuk menaklukan suatu wilayah. Krom, Moens dan Porbatjaraka sepakat bahwa isi prasasti tersebut merupakan peringatan kemenangan Sriwijaya atas ekspedisi menaklukan Melayu. Boechari melengkapi pernyataan terdahulu tersbut dengan keberhasilan pembacaan bahwa untuk memperingati kemenangan itu akan didirikan ibukota baru (Notosusanto, 1984: 56)

Prasasti Kota Kapur (28 April 686 M) lebih lanjut memberitakan adanya usaha dari Sriwijaya untuk menaklukkan Jawa karena Jawa tidak mau mengakui keberadaan Sriwijaya. Coedes berpendapat prasasti itu dibuat ketika Sriwijaya akan berangkat berperang dengan Jawa. Kerajaan Jawa sasaran penyerangan adalah Tarumanegara, hal itu dibuktikan dengantidak adanya laporan utusan Taruma  menghadap kaisar Cina pada tahun 699. Lenyapnya Taruma diperkuat dengan keberadaan prasasti Juru Pangambat dari Jawa Barat dan prasasti Gondosuli dari Kedu jawa Tengah (Notosusanto, 1984: 58). Berdasarkan berita dari prasastiprasasti tersebut terbukti bahwa Sriwijaya melakukan perluasan wilayah kekuasaan serta berusaha “mematikan” kekuatan yang menjadi pesaing pelayaran dan perdagangannya yaitu Jawa  Dengan penguasaan atas wilayah-wilayah di sekitar selat Malaka maka Sriwijaya menguasai jalur pelayaran perdagangan utama pada masa itu yaitu selat Malaka. Armada laut Sriwijaya tidak hanya menjaga periaran selat Malaka dari kejahatan perompak terhadap kapal dagang tetapi juga dapat ”memaksa” kapal-kapal dagang asing (cina, India, Arab) untuk singgah di Bandar Sriwijaya. Sriwijaya memperoleh keuntungan yang sangat besar dari bea cukai yang harus dibayar oleh kapal-kapal asing serta keuntungan dari perdagangan. Keuntungan perdagangan yang diperoleh Sriwijaya juga karena Sriwijaya dapat menghadirkan komoditi dagang yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus, dammar dan lada, sementara komoditi impor yang diperdagangkan adalah porselen, kain katun dan kain sutra.  Kebesaran Sriwijaya dinyatakan pada pasasti Ligor yang ditemukan di Tanah Semenanjung Melayu. Prasasti Ligor A (bagian depan) berangka tahun 775 M memuat pernyataan pembangunan trisamaya caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Vajrapani. Kemudian di Nalanda Negara bagian Bihar India ditemukan prasasti yang berasal dari abad ke-9 dan dikenal dengan prasasti Nalanda. Prasasti itu berisi tentang pembangunan wihara Buda di Nalanda oleh Balaputradewa. Prasasti itu juga menyebutkan bahwa kakek Balaputradewa adalah raja Jawa. Sementara menurut sumber Arab dan Persia pada tahun 844-848 M raja Zabag disebut maharaja dan memiliki kekuasaan meliputi pulau-pulau di lautan timur (Notosusanto, 1984: 64-67).

Riwayat Majapahit dimulai pada masa pemerintahan raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Kertanegara adalah raja Singhasari terakhir dan terbesar. Pada masa kekuasaannya singhasari merupakan kerajaan maritime yang sangat kuat dan disegani. Kitab Negarakertagama membritakan tentang kebijakan politiknya khususnya politik luar negri dengan rinci. Untuk memperkuat kedudukan dan pengaruh Singhasari Kertanegara memberlakukan kebijakan politik yang dinamakan cakrawala mandala, yaitu perluasan wilayah (pengaruh) ke luar Jawa yang meliputi seluruh daerah dwipantara.

Realisasi kebijakan politik tersebut dengan memadamkan pemberontakan yang terjadi di dalam kerajaannya yaitu pemberontakan Kalana Bhaya pada 1270. Lima tahun kemudian yaitu pada 1275 Kertanegara melancarkan ekspedisi untuk menaklukan kerajaan Melayu. Tahun 1280 sekali lagi Kertanegara harus menghadapi pemberontakan Mahisa Rangkah menyusul peneklukan Bali pada tahun 1284. Raja Bali yang dikalahkan dibawa ke Singhasari sebagai tawanan. Negarakertagama menyebutkan wilayah yang ditaklukkan berikutnya adalah Pahang, seluruh Melayu, seluruh Gurun, seluruh Bakulapura, dan seluruh Jawa dan Madura. Pernyataan Negarakertagama dikuatkan oleh prasasti yang dituliskan pada bagian belakang arca Camundi yang ditemukan di desa Ardimulyo Singosari Malang dengan angka tahun 1292. Prasasti lain yang membuktikan keberadaan ekspedisi penaklukan Melayu adalah prasasti yang dituliskan pada alas arca Amoghapasa dari Padangroco dan berangka tahun 1286 (Notosusanto, 1984: 411-413) Luas dan kuatnya pengaruh Singhasari di Asia Tenggara mendapat perhatian dari kerajaan Cina. Cina merasa tersaingi dan perlu mengirim utusan untuk meyakinkan bahwa Cina masih yang dipertuan dari raja-raja di wilayah bawahannya (Asia Tenggara). Khubilai Khan segera mengirim utusan ke seluruh kerajaankerajaan di Asia Tenggara tidak terkecuali Singhasari. Utusan Khubilai Khan tiba di Singhasari pada 1280 dan 1281 membawa pesan agar raja Singhasari mengirim seorang pangeran ke Cina sebagai tanda pengakuan atas pengaruh dan kekuasaan Cina. Tahun 1289 datang lagi utusan dari Cina yaitu Meng-Chi untuk sekali lagi meminta Singhasari mengakui kekuasaan Cina atas kerajaan tersebut, Kertanegara tetap menolak dan sebagai bukti keseriusannya utusan Cina tersebut dilukai wajahnya.

Namun demikian akhir kerajaan Singhasari tidak karena serangan Cina yang tersinggung karena sikap Kertanegara, keruntuhan Singhasari justru akibat pemberontakan di dalam negri yang dilakukan oleh Jayakatwang pada 1292. Singhasari kemudian diperintah oleh Jayakatwang sampai datangnya pasukan Cina yang datang untuk memaksa Singhasari mengakui kekaisaran Cina sebagai yang dipertuan. Raden Wijaya menantu Kertenegara menggunakan kesempatan tersebut untuk balas menyerang Jayakatwang. Dengan kekalahan Jayakatwang berakhirlah era Singhasari dan era Majapahit dimulai.

Majapahit sebagai penerus kerajaan Singhasari terletak lebih ke pesisir apabila dibandingkan Singhasari. Majapahit terletak di Tarik (Trowulan-Mojokerto sekarang) sebuah desa di tepi sungai Brantas. Masa awal Majapahit dibawah R. Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawarddhana adalah masa konsolidasi. Akibat runtuhnya Singasari Kertarajasa harus menghadapi berbagai anasir yang mencoba untuk merebut kekuasannya. Banyak gerakan pemebrontakan yang harus dihadapi unutk menegakkan kekuasaan dan wibawa kerajaan baru tersebut.

Kondisi politik Majapahit mulai reda sejak pemerintahan Tribhuwanatunngadewi Jayawisnuwardhani dengan  Gajah Mada sebagai kepala bayangkara. Negaraker  tagama memberitakan bahwa Gajah Mada berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta tahun 1331. Selanjutnya Pararaton memberitakan bahwa Gajah Mada mengangkat sumpah bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum dapat menundukkan nusantara yaitu Seran, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik (Notosusanto, 1984: 434). Sumpah Gajah Mada dibuktikan oleh kesaksian pedagang Cina Wang Ta-yuan yang membukukan catatan perjalannya dalam Tao-ichih-lueh. WW Rockhill mengidentifikasi bahwa buku itu ditulis sekitar tahun 1349. Buku tersebut melukiskan kondisi alam dan penduduk She-p’o (Jawa), dengan komoditi utama padi, lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Komoditi dari luar Jawa adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik dan barang-barang dari besi. Diberitakan juga bahwa daerah-daerah di Malaysia, Sumatra, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, serta beberapa wilayah Indonesia bagian timur mengakui kedaulatan She-p’o.

 Majapahit mencapai jaman keemasannya pada masa raja Hayam Wuruk. Raja Hayam Wuruk didampingi Patih Amangkubumi Gajah Mada berusaha mewujudkan cita-cita politik nusantara. Prapanca dalam Negarakertagama menuliskan bahwa wilayah kekuasaan dan pengaruh Majapahit hamper seluas Indonesia sekarang, meliputi daerah dari Sumatra sampai Maluku dan Irian di bagian timur, bahkan meluas sampai di Negara tetangga di Asia Tenggara. Namun demikian politik nusantara ini berakhir pada 1357 dengan kasus di Bubat. Kesalahpahaman antara Raja dan Patih Amangkubumi membawa malapetaka terjadinya perang Bubat dengan akhir tragis. Akibat peristiwa itu Gajah Mada akhirnya mukti palapa (mengundurkan diri) dari jabatannya (Notosusanto, 1984: 436-437). Para raja berikutnya pengganti Hayam Wuruk bukanlah raja-raja yang cukup kuat, sehingga pada masa pemerintahan mereka perlahan-lahan Majapahit mulai mundur. Pada saat yang sama Islam sebagai “kendaraan” politik mulai diusung oleh raja-raja pesisir untuk menghadapi dominasi Majapahit 3. Kerajaan maritime Islam Ekspedisi “penghukuman” raja Jawa dibawah pimpinan Laksamana Cheng Ho bukan semata-mata untuk tetap menjaga pengaruh dan dominasi Cina di “rute dagang selatan” tetapi sekaligus untuk menjamin bahwa perdagangan wilayah selatan dikuasai oleh para pedagang muslim. Sejak abad ke-14 pedagang Cina muslim telah mendominasi distribusi perdagangan antara Cina India. Pada saat yang sama India berada dibawah kekuasaan kesultanan Delhi Utara yang muslim (Muhammad bin Tughluk 1325-1351). Muncul kesultanan-kesultanan baru di pesisir seperti Benggali dibawah Ahmad Syah (1411-1441) dan Gujarat dibawah Mahmud Baikara (1458-1511) yang terus berkembang dan menjadi pusat perdagangan baru.

Sementara pantai-pantai Malabar telah berada dibawah kekuasaan para pedagang dari masyarakat Mappila yang muslim dan melayni perdagangan dengan Arab, Ormuz dan Maladewa (Lombard, 1996: 30-31). Samudra Hindia yang berada pada jalur perniagaan laut antara Laut Tengah dan Laut Cina otomatis terintegrasi dan setiap perubahan yang terjadi di salah satu wilayah akan berpengaruh terhadap jaringan lautan nusantara. Ibnu Batuta dalam perjalanannya ke India dan Cina mendeskripsikan wilayah, masyarakat dan pemerintahan dimana ia singgah. Ia berkelana dengan menumpang kapal-kapal dagang yang semuanya diawaki oleh orang-orang muslim dan dimiliki para saudagar muslim Cina, ia pernah menumpang jung milik raja Zahir dari Samudra Pasai(Lombard, 1994: 31).

Abad ke-14 periaran Asia Tenggara menjadi saksi lahirnya kapitalis-kapitalis baru dengan harta kekayaan berupa modal bergerak, suatu hal baru yang tidak ada pada masa sebelumnya. Kelompok elite sosial baru terbentuk yaitu para saudagar yang tinggal dan menetap di pesisir lautan yang menjadi sumber kehidupan mereka. Kota-kota pelabuhan sekaligus kota perdagangan tumbuh menjadi pusat peradaban baru yang terbuka dan komopolitan. Struktur politik baru ini muncul pertama kali di Sumatra dengan Samudra Pasai menyusul Jawa dan wilayah-wilayah lain yang lebih timur. Semua itu dimungkinkan dengan perkembangan perniagaan laut yang makin bergerak ke timur periaran nusantara.

Keberadaaan peradaban muslim nusantara di Sumatra dibuktikan dengan temuan arkeologis berupa makam Malik al Salih yangbberangka tahun 1297, makam Malik al Zahir (1326) dan emapt buah prasasti yang berasal dari abad ke-14. Bukti arkeologi itu menguatkan kisah Marco Polo dan Ibnu Batuta yang mngatakan bahwa terdapat kesultanan yang cukup penting di wilayah barat Nusantara (Lombard,1994: 32)

Di Jawa bukti keberadaan komunitas muslim dibuktikan dengan temuan arkeologis batu prasasti Leran yang berasal dari abad ke-11 serta makam Maulana Malik Ibrahim (1419) yang diduga pedagang Gujarat dan dimakamkan di Gresik. Suatu hal yang menarik bahwa di kota raja Majapahit yang notabene Hindi-Buda terdapat makam Islam (komp. Pemakaman Tralaya) kuno yang sampai sekarang masih bisa kita amati. L.Ch. Damais berdasarkan teks yang tertera pada makam tersebut menyatakan bahwa ada tiga makam  berasal dari abad ke-14 (1376, 1380), dan delapan makam berasal dari abad ke-15 (1407 dan 1475) dengan satu makam khusus yang dianggap sebagai makam Putri Campa dan berangka tahun 1448/9 M (Lombard, 1994: 34)

Setelah Sumatra meredup maka Jawa mulai tampil sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan baru. Dimulai dari kota perniagaan kecil sebagai tempat singgah Demak lambat laun berkembang menjadi pusat perniagaan laut. Tome Pires menggambarkan bahwa kota itu (Demak) banyak didatangi para pedagang asing yaitu orang Parsi, Arab, Gujarat, Bengali, Melayu dan bangsabangsa lain dan banyak diantara mereka adalah orang Moro (Islam). Mereka kaya Karena berdagang dengan negri Jawa dan mulai membangun masjid, mendatangkan pemimpin agama daritempat lain sehingga jumlah mereka menjadi banyak dan keturunnya menjadi “jawa”. Pires menggambarkan pemimpin-pemimpin pribumi yang masih kafir (Hindu-Buda) kemudian masuk Islam dan dengan cara demikian “orang asing” masuk ke dalam kekuasaan Jawa. Dengan cara demikian maka terjadi akulturasi budaya. Penguasa-penguasa berikut meskipun merupakan keturunan Cina, Parsi, Keling dan bangsa-bangsa lain kemudian menjadi “jawa” dan hidup dengan tata cara Jawa karena mereka mewarisi kekayaan pendahulu mereka. Kelompok ini dianggap lebih penting  dan lebih mulia dari orang Jawa pedalaman, dan dalam hal demikian nampaknya orang-orang Cina muslim menduduki tempat teratas.

Dominasi Islam dapat ditelusuri pada tingkat sosial dan politik kesultanankesultanan di nusantara mulai dari Aceh sampai Ternate-Tidore pada abad ke-16,17 dan 18. Agama menjadi ikatan dan merupakan cirri khas perniagaan dan pelayaran sehingga menuntun untuk mengunjungi pelabuhan-pelabuhan yang “sekomunitas agama”. Inilah yang mendorong majunya pelabuhan-pelabuhan nusantara menjadi Bandar besar dan mempunyai  pengaruh politik.  Demak sejak R. Patah mulai menunjukkan pengaruhnya baik dalam bidang perniagaan maupun politik. Bentang alam dengan g. Muria di lepas pantai Jawa membentuk pelabuhan alam aman dari hempasan gelombang laut sehingga menjadi tempat ideal untuk singgah kapal-kapal dagang. Pada masa Trenggana (1504-1546) Demak tidak hanya menjadi pusat perniagaan tetapi juga politik dan keagamaan. Demak dikelilingi kota lain yang menunjang perniagaan besar yaitu Juwana, Pati, Rembang, Kudus dan Jepara. Selain penyedia komoditi dagang terutama beras kota-kota itu juga dikenal sebagai tempat untuk membuat dan memperbaiki kapal, dari tempat-tempat itu terutama Rembang dan Jepara armada perang Demak berasal. Hal tersebut sangat dimungkinkan dengan keberadaan hutan jati di wilayah pedalaman Jawa

Banten pada abad ke-16 seperti yang diberitakan Pires merupakan pelabuhan perniagaan penting di Jawa Barat. Sultan Hasanuddin (1552-1570) dan anaknya Sultan Yusuf (1579) memperluas dan mengembangkan perkebunan lada yang menjadi komiditas andalan dan sumber kekayaan Banten. Abad ke-16 sampai awal abad ke-17 Banten merupakan kota cosmopolitan. Lukisan tentang Banten dibukukan dengan judul Voyage oleh Pyrand de Laval tahun 1609. Pyrand menggambarkan Banten sebagai kota yang padat penduduk, dengan tembok bata mengelilingi kota, rumah-rumah yang besar, terdapat lima lapangan luas (alun-alun?) yang setiap hari berfungsi sebagai pasar segala macam barang dagangan, di luar tembok adalah pemukiman orang asing. Dalam hal perdagangan Pyrand menggambarkan Banten dikunjungi banyak bangsa karena di Banten terjadi transaksi dagang dengan segala macam bangsa, baik orang nasranai, orang India, orang Arab, Gujarat, Malabar, Bengali dan Malaka yang utamanya datang untuk lada yang melimpah. Orng-orang Cina Nampak mendominasi perdagangan dengan sembilan atau sepuluh kapal besar yang dimuati dengan kain sutra, kain katun, emas, porselen, minyak kasturi dan beragam barang lainnya dari negri Cina (Lombard. 1994: 55-56)

Kejayaan imperium Islam pesisiran tidak bertahan lama. Munculnya orangorang Eropa dengan motivasi utama mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dan semurah mungkin merusak system perdagangan bebas yang telah berkembang sejak masa Hindu-Buda. Ketidakmampuan orang-orang Eropa bersaing di pasar bebas Asia dengan system perdagangan bebas Asia membuat orang Eropa menempuh jalur kekerasan dan pemaksaaan untuk menguasai dan mengambilalih pusat-pusat perniagaan. Lambat laun system perniagaan Asia mengalami kemunduran dengan semakin banyaknya bangsa Eropa masuk Asia dan menaklukkan kerajaan-kerajaan bangsa Asia.[pi]

Tags:

kerajaan maritim