Pengertian Taubat dan Raja’

Pengertian Taubat dan Raja’ – Menurut bahasa Arab, taubat bermakna al-inbah wal iql ’ (kembali dan mencabut). Sedangkan menurut istilah para ulama, taubat adalah kembali kepada Allah untuk mendapatkan ampunan-Nya dengan cara meninggalkan kemaksiatan. Hukum bertaubat atas segala kemaksiatan adalah wajib. Allah Swt berfirman: yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuh(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahankesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS At-Ta rm (66): 8]

Imam Qurubi berpendapat, ayat di atas merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya untuk melakukan taubat. Setiap orang diwajibkan untuk bertaubat atas dosa-dosanya dalam setiap waktu dan kondisi. Taubat yang diterima Allah Swt adalah taubat nasuha. Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan taubatan nasuha. Sebagian ulama mengartikan taubatan nasuhadengan,”tidak mengulangi dosa setelah bertaubat; sebagaimana susu tidak akan pernah kembali pada kambingnya”. Ada pula yang mengartikan taubatan nasuhadengan taubat yang sebenar-benarnya.

taubat

Islam memberikan tuntunan atau tata cara bertaubat. Tata cara taubat ditentukan oleh jenis dosa yang dilakukan oleh seorang hamba. Dosa yang dilakukan manusia dibagi menjadi dua macam. Pertama, dosa karena melanggar hak-hak Allah; dan kedua, dosa karena melanggar hak manusia.

Berkenaan dengan dosa karena melanggar hak-hak Allah, menurut Imam Nawawi tata cara taubatnya harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

  • bergegas meninggalkan dosa yang dilakukan
  • adanya penyesalan di dalam hati
  • harus bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut.

Jika dalam pelanggaran itu ada kewajiban untuk meng-qa a’ atau membayar kafarat, maka taubatnya belum sempurna hingga qa a’ dan kafarat ditunaikan. Contohnya, pelanggaran terhadap sumpah yang disengaja. Orang yang melanggar sumpah, selain harus melaksanakan tiga hal di Imam Qur ubi mengutip pendapat Al-Hasan, “Nasuha adalah membenci dosa-dosa yang sering dilakukannya, kemudian memohon ampunan kepada Allah ketika ia sadar”. Al-Kalabi berkata, “Taubatan nasuha adalah penyesalan dalam hati, memohon ampun dengan lisan, menjauhkan dari dosa, dan dengan suka hati tidak akan mengulangi lagi”.

Menurut Imam Ibnu Jarir at-Tabari, QS At-Tahrm (66):8 adalah perintah untuk meninggalkan perbuatan dosa dan kembali taat kepada Allah, serta kembali kepada apa yang diridai oleh Allah Swt”. Beliau melanjutkan, “Yang dimaksud dengan taubatan nasuha adalah meninggalkan dosa dan tidak akan pernah mengulangi lagi selamanya.”

Dari pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa taubatan nasuhaadalah sebuah sikap seseorang terhadap perbuatan dosanya dengan penyesalan dalam hati, memohon ampunan-Nya, dan bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut selamanya. Sikap tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. atas, dia juga berkewajiban membayar kafarat (denda) atas pelanggaran sumpah. Kafarat pelanggaran sumpah bisa dipilih sebagai berikut; (1) memberi makan, (2) memberi pakaian, (3) memerdekakan budak. Jika tidak mampu melaksanakan tiga hal ini, dia wajib berpuasa selama tiga hari [QS AlMaidah (5):89]

Jika pelanggaran itu berhubungan dengan hudud, dosanya akan diampuni jika tiga hal di atas telah dipenuhi, dan gugurlah ad(hukuman atas udud). udud ada enam macam, (1) zina dan homosex, (2) pencurian, (3) minum khamer, (4) hirabah, (5) qazaf (menuduh orang lain berbuat zina), dan (6) murtad. Adun tuk zina adalah dijilid sebanyak 100 kali bagi pezina gairu muhan, dan dirajam bagi pezina muhan. Aduntuk pencurian adalah sanksi potong tangan. aduntuk minum khamer adalah dijilid sebanyak 40 kali. aduntuk hirabah (pelaku kerusakan di muka bumi) adalah dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan, diberi hukuman mati, dan disalib. untuk qazafadalah dijilid sebanyak 80 kali. Sedangkan untuk murtad adalah hukuman mati.

Jika peminum khamer hendak bertaubat, maka dia harus melaksanakan tiga hal di atas dengan sebenar-benarnya. Lalu, apakah dia harus meminta hukuman jilid sebanyak 40 kali, sebagai adatas dosa meminum khamer? Menurut Imam Syafi’i, jika seseorang melanggar dosa yang terkategori hududnya Allah, maka taubatnya akan diterima dan adatas dirinya gugur, jika dia telah menjalankan tiga hal di atas, sebelum tertangkap oleh pemerintah.

Namun, jika ia tertangkap dan belum sempat bertaubat, maka adakan dijatuhkan atas dirinya. Ketentuan ini didasarkan firman Allah Swt, yang artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilangan; atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. Yang demikian itu, sebagai penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka memperoleh siksaan yang besar. Kecuali, orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu berhasil menangkap mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS Al-Maidah (5): 33-34]

Adapun dosa yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak-hak anak Adam, maka tata cara taubatnya adalah melaksanakan tiga syarat yang telah disebutkan di atas, dan ditambah dengan syarat keempat, yaitu, mengembalikan hakhak orang yang dia zalimi, dan meminta maaf kepadanya.

Pengertian dan Hukum Raja’

Menurut bahasa Arab, raja‘ adalah al-amāl (harapan), lawan dari putus asa. Sedangkan menurut istilah para ulama, raja‘adalah berbaik sangka kepada Allah. Tanda berbaik sangka kepada Allah adalah mengharapkan rahmat, jalan keluar, ampunan dan pertolongan dari-Nya. harta orang lain, maka ia harus melaksanakan tiga syarat di atas, serta harus meminta maaf dan mengembalikan harta yang dia rampas kepada pemiliknya.

Allah Swt mewajibkan raja‘ dan berbaik sangka kepadaNya, sebagaimana Allah mewajibkan kaum Muslim untuk selalu takut kepada-Nya. Wajibnya ar-raja’telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[QS Al-Baqarah (2): 218]

Allah Swt juga berfirman, yang artinya: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. [QS Al-Isr ’ (17): 57]

Sedangkan dalam sunnah, banyak riwayat telah mewajibkan raja’. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Wasilah bin Asqa, bahwasanya ia berkata, “Berbahagialah karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Allah berfirman, “Aku tergantung pada prasangka hambaKu kepada-Ku. Apabila ia berprasangka baik kepada-Ku, maka kebaikan baginya, dan bila berprasangka buruk maka keburukan baginya” [HR Ahmad dengan sanad hasan dan Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya] Imam Tirmi imenuturkan sebuah hadidari Anas Ra sesungguhnya Nabi Saw masuk untuk menemui seorang pemuda yang sedang sakaratul maut; lalu Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Bagaimana keadaanmu? Pemuda itu menjawa, “Ya Rasulullah saw.! Aku mengharapkan rahmat Allah dan aku sangat takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah takut dan raja` berkumpul dalam hati seorang hamba dalam keadaan seperti ini kecuali Allah akan memberikan kepadanya apa-apa yang diharapkannya, dan akan memberikan keamanan kepadanya dari perkara yang ditakutinya.” [HR Tirmi i dan Ibnu Majah, Al-Mun iri berkata hadiini sanadnya hasan]

Lawan dari raja‘ adalah al qanutatau al-ya‘su(putus asa dari rahmat Allah). Al-qanut dan al-ya’sumemilik arti yang sama. Putus asa dari rahmat Allah dan karunia-Nya hukumnya haram. Dalilnya adalah Al-Kitab dan As-Sunah. Di dalam AlQur’an, Allah Swt berfirman: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [QS Yusuf (12): 87] Firman Allah Swt yang artinya: “Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab pedih”. [QS Al-’Ankab t (29): 23]

Adapun di dalam sunnah, banyak diriwayatkan hadi hadiyang berisi larangan berputus asa dari rahmat Allah; diantaranya adalah hadiyang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata; sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Andaikata seorang Mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, maka tak seorang pun yang tidak mengharapkan surga. Dan andaikata orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka tak seorang pun yang putus harapan dari surga-Nya”. [Mutafaq ‘alaih]

Imam Ahmad, abrani, dan Al-Bazar menuturkan sebuah hadis dari Faalah bin Abid, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya di hari Kiamat yaitu: manusia yang mencabut selendang Allah; dan sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah al-’izzah (keperkasaan); manusia yang meragukan perintah Allah; dan manusia yang putus harapan dari rahmat Allah.” [HR Ahmad, abrani, Al-Bazar. Al-Hai ami berkata perawinya terpercaya. Al-Bukhari dalam kitab AlAdab, Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya].[pi]

Tags:

pengertian raja, pengertian tobat dan raja, Taubat dan raja, Tobat dan raja, arti raja, pengertian tobat, pengertian raja\, Materi Taubat dan Raja